peluang usaha

Kamis, 05 Juli 2012

Cerpen Motivasi


  Surat Terakhir Buat Kamu


“Aku pergi!” tulismu pada secarik kertas kumal di meja kamarku. Hanya dua kata. Tanpa nama, tanpa tanda tangan. Tetapi aku tahu surat dua kata itu adalah tulisanmu. Aku mengenalmu jauh lebih dari kau mengenal dirimu sendiri.


Andai saja kau ada di kamarku ketika kubaca suratmu, pasti kau tak bisa melukiskan kekecewaanku yang mendalam. Jiwaku terasa menggelepar. Ruhku terasa mendesak keluar. Perih. Sungguh perih. Dua kata yang mampu menerobos jantungku hingga aku bungkam dan denyut nadi mati terasa. Kau sungguh pintar merobek hatiku.


Yang tak habis kupikir adalah kenapa kau hanya meninggalkan dua kata pada secarik kertas kumal. Kenapa tidak kau tulis puluhan, ratusan, atau ribuan kata di suratmu agar aku tak kesakitan seperti ini. Kau tahu, dua kata itu selalu terngiang di telingaku. Mungkin jika kau tulis panjang surat, tak ada kata-kata yang terngiang di telingaku karena terlalu banyak kata yang mesti kuingat. Sungguh, kau tikam jiwaku melalui dua kata itu. Sakit sekali. Kau sama sekali tak menghargaiku. Kau menganggapku seperti kertas kumal itu yang dengan mudah disobek dan diremas lalu dibuang ke bak sampah.



Kuakui kita memang banyak sekali perbedaan. Watak kita bagai api dan air. Tetapi bukankah api dan air itu saling melengkapi. Apa jadinya air tanpa api, atau api tanpa air? Begitulah prinsipku, sehingga kau kuterima apa adanya.


Kau suka berpesta, aku suka kesendirian. Kau suka berjalan-jalan, aku suka diam. Kau suka bercanda, aku serius. Kau glamor, aku sederhana. Kau selalu ingin bersenang-senang, sementara aku ingin kedamaian. Kau periang, aku pendiam. Memang begitu jauh perbedaan kita. Persis seperti api dan air. Tapi bukankah api dan air saling melengkapi? Tidakkah kau sadari itu?


Kala kau sedang bersedih, kau datang padaku maka kuberi kau ketenangan. Jika aku sedang tak bergairah, maka kau datang beri aku semangat baru. Jika kau sedang dalam kesusahan, maka kuberi kau kedamaian. Jika kau tak tahu ke mana lagi mau pergi, maka kau kutemani selalu. Tidakkan itu saling melengkapi? Sesungguhnya banyak hikmah dari perbedaan kita kalau kau mau sedikit berpikir jauh dan positif tentunya.


Jika aku salah, maafkan aku. Perpisahan bukan satu-satunya solusi untuk perbedaan kita. Kumohon kembalilah padaku. Mari kita perbaiki kancing yang salah terpasang. Kesalahan adalah untuk kita mengetahui apa yang benar. Tidak ada salah kalau tidak ada sesuatu yang benar. Begitu pun sebaliknya.


Seharusnya kau mengerti itu. Tapi kau tak mau mengerti. Kau selalu mengeluh dengan watakku yang jauh berbeda denganmu. Aku pun selalu menyadarkanmu bahwa manusia itu tidak pernah diciptakan untuk sama walau kembar sekali pun. Manusia berbeda, dan wajib menerima perbedaan. Aku pun selalu untuk tolerir dan menghargai terhadap apa yang kau lakukan. Namun kau tak bisa menghargai dan tak bisa menolerir apa yang kulakukan.


Kadang kau ingin mengubahku menjadi periang, tapi aku memolesi jiwaku dengan semen pendirian yang tak bisa kau ubah. Tidakkah kau sadar aku tak pernah memolesi jiwamu. Aku terima kamu apa adanya. Hanya satu kuharapkan darimu kelak adalah kau menghargai perbedaan kita, karena perbedaan bukanlah benih perpecahan atau suatu ketidakcocokan melainkan saling melengkapi. SALING MELENGKAPI! Kau harus camkan kalimat itu di dalam hatimu. Tetapi kau tak bisa. Dan kau pergi tanpa bicara.


Aku ingat sekali ketika kau mengajakku pergi ke pesta ultah temanmu, tapi aku menolaknya. Aku tak suka keramaian dan keributan. Tapi kau marah. Kau mengatakan aku tak mencintaimu lagi. Kau tak pernah berpikir positif dari ketidakpergianku. Padahal sudah kujelaskan aku tidak suka keramaian. Lalu ketika yang kedua kalinya, aku akhirnya mengalah dan aku pergi ke ultah temanmu. Dan di sana aku diam, memojok sendiri di kursi kosong. Aku hanya memandangimu yang riang bersama teman-temanmu. Kau begitu gembira hingga aku yang telah kau bawa, kau lupakan. Maka alasanku begitu sangat kuat ketika aku menolak ketika kau ajak lagi. Tidakah kau mengerti? Kau memang tak pernah bisa mengerti. Kau egois!


Aku juga ingat setelah kau kirim surat dua kata, kau selalu menjauh. Kadang kau membuang muka, berlari, bersembunyi, atau bergabung dengan teman gaulmu. Segala cara kau lakukan agar kau bisa menghindar dariku. Sungguh, seolah aku bagai anjing kurap di matamu. Sesungguhnya aku hanya mau bicara baik-baik denganmu. Aku hanya minta penjelasanmu kenapa kau pergi. Itu saja.


Akhirnya kau buka mulut juga. Hanya karena kau tak ingin aku terus mengekormu dan tentunya mengganggumu.


“Kita berbeda,” kalimat pembuka pertama saat kau mau bicara. Aku ingat sekali, karena aku sudah menduganya juga kau akan berkata begitu. Tapi aku tak ingin hanya menduga jika kebenarannya belum pasti. “Kita tak pernah bisa satu,” lanjutmu. “Mungkin kau benar perbedaan saling melengkapi. Tapi perbedaan itu bukan untuk disatukan, melainkan dipisah-pisahkan. Tahukah kau apa jadinya jika air dan api disatukan. Maka api akan padam jika air terlalu kuat, atau air yang menguap jika api yang kuat. Tergantung kekuatan mana yang lebih besar. Dan tahukah kau apa jadinya warna merah disatukan dengan putih, maka kedua warna akan membaur dan membentuk suatu warna baru. Kebetulan dua warna itu akan membentuk sebuah warna yang menarik. Tapi apa jadinya kalau coklat sama hitam? Tentunya makin memburuk. Kau mengerti? Perbedaan itu tidak disatukan, tetapi dipisah-pisahkah. Dikotak-kotakkan atau diberi sekat agar tidak merusak yang lainnya atau mengganggu yang lain. Tidakkau kau lihat pelangi. Warna itu sesungguhnya tidaklah bersatu tetapi terpisah dan alangkah indahnya warna yang terpisah itu. Bisakah kau bayangkan jika warna itu bersatu dan terpajang di langit biru. Akan menjadi layar buruk tentunya bukan? Maka aku pun pergi. Kita tak bisa bersatu….”


“Ya, kita memang tak pernah bisa bersatu,” aku buru-buru memotong kalimatmu. “Kita tak pernah bersatu. Ada sekat di antara kita. Dan aku tidak pernah mencoba merusak sekat itu. Tapi kaulah yang merusak sekat itu. Kau yang mencoba memasuki jiwaku dengan jiwamu yang beda. Kaulah yang mencoba menyatukanku seperti dirimu. Padahal aku tidak pernah mencoba menyatukan jiwaku pada jiwamu.”


“Sungguh aneh jalan pikiranmu,” katamu. “Aku kadang tidak bisa memahami dirimu. Kau bergulat sendiri dengan pemikiranmu dan menetapkan sendiri pula kebenarannya, tanpa menelusuri kembali kebenaran yang kau dapat. Kau terlalu yakin pada pemikiranmu yang belum tentu benar itu. Padahal kau pernah mengatakan, bahwa kesalahan tidak ‘kan ada jika tidak ada kebenaran.


Apakah kau tidak sadar, bahwa kita sudah terikat dalam satu tali ikatan, bukankan itu sudah menyatu? Kita berada dalam satu rumah, bukankah itu sudah menyatu? Kita sudah berkali-kali bersetubuh bukankah itu berarti dua tubuh sudah menyatu.”


“Tapi itu hanya dari luarnya saja, tidak di dalam ini, jiwa ini, dan itu tak pernah bisa bersatu. Memang Jiwamu, jiwaku, jiwa manusia sebenarnya adalah satu. Hanya karena berada dalam diri manusia yang berbeda, maka jiwa pun berbeda.”


“Begitulah kau,” katamu kemudian. “Kau keras kepala. Kau terlalu yakin dengan perkataanmu sendiri dan tak mau mencoba mendengarkan kata orang lain. Padahal kita tak pernah bisa hidup sendirian….”


“Makanya harus ada saling melengkapi,” kataku, tapi kau tak jua mengerti.


“Sungguh, aku tak bisa dan tak akan pernah bisa mengerti dirimu. Aku pergi!”


“Baik, aku mengalah jika itu sudah keputusanmu. Tapi tolong jelaskan padaku, kenapa kau hanya tulis dua kata pada secarik kertas kumal di kamarku?”


“Aku juga mempertimbangkannya dengan teliti bagaimana aku harus mengatakan bahwa aku tak bisa hidup lagi denganmu. Jika kukatakan langsung, maka aku kalah dengan pemikiranmu yang membingungkan itu. Lalu kupikir menulis saja. Tapi ketika aku mulai menulis, aku berpikir tentang dirimu. Jika kutulis surat ini panjang lebar, maka kau tak bisa mempercayainya. Kau akan membacanya berulang-ulang untuk meyakinkan dirimu, dan kau akan menyimpannya menjadi kenang-kenanganmu. Lalu suatu masa akan kau baca lagi mengenang masa kita berdua. Aku tak ingin kau menjadi seperti itu. Oleh karena itu, aku pun menulis dua kata di secarik kertas kumal agar setelah kau membacanya kau bisa meremasnya dan membuangnya ke tong sampah dan kau pun tak perlu menyimpannya. Karena kertas kumal itu juga pertanda jiwamu yang sudah lusuh, perlu disetrika lagi atau jika tidak bisa maka dibuang. Tapi aku tak pernah mengira jadinya seperti ini. Kau mengincarku terus dan meminta penjelasanku. Sungguh aku tak pernah bisa mengerti dirimu. Bukankah kau begitu yakin apa yang kau pikirkan, sehingga tak perlu dipertanyakan lagi?”


Kau memang pandai memainkan kata. Aku salut. Makanya aku suka padamu. Tetapi kalau sudah melebihi titik ekstrim, ternyata kau menjadi sangat tidak menyenangkan. Aku tahu kau sendiri kadang tak bisa memahami apa yang telah kau ucapkan bahkan kau lupa dengan kata-katamu sendiri.


Ya, akhirnya kita benar-benar berpisah dan aku dengan setengah hati melepaskanmu. Kita tak bisa bersama lagi. Kubiarkan kau mencari pasangan lain yang sesuai hatimu, yang sama dengan watakmu, yang cocok denganmu. Seandainya takdir mempertemukan jodoh sesuai kriteriamu, maka sebelum terlambat kukatakan padamu bahwa kau akan melewati hari-harimu dengan kejemuan. Tidak ada sesuatu yang berbeda dari kalian untuk saling dilengkapi. Semuanya serba sama. Andai saja kau bisa mengerti, bahwa yang kita butuhkan, juga dunia ini bukanlah persamaan tetapi kebersamaan dan di dalam kebersamaan itu tentunya banyak perbedaan.


Sekian, semoga kau bisa merenungi surat terakhirku ini.


Chatting di Ruang Muka (Faceroom)


"Sandra! Sedang baca apa kamu? Kalau merasa sudah tidak butuh pelajaran biologi, kamu boleh keluar!" bentak guru biologi kami sambil mengambil buku yang sedari tadi dipelototi sahabatku itu.



"Sudah, nggak usah dipikirin. Dibentak gitu aja kok langsung sedih? Pak Edo memang suka gitu kok," hiburku pada Sandra setelah pelajaran usai.

"Gimana lagi, itu kan pengalaman pertamaku dibentak sama guru."



"Ya sudah. Yang penting kamu jangan ulangi lagi kejadian tadi. Dan ingat, besok kita ada ulangan biologi. Jadi, belajar yang serius ya!"

"Aduh, aku lupa! Kan entar sore mau chatting. Ya, lumayan buat refreshing abis kejadian tadi. Masalah ulangan, kan ada kamu. Udah ya, bye!" ujar Sandra sambil berlalu.



Aku menggeleng. Dia selalu saja bersikap semaunya sendiri. Apalagi kalau mau ulangan. Padahal aku sudah sering mengingatkannya. Ah, sudahlah. Nggak ada gunanya memikirkan hal itu sekarang. Lebih baik aku pulang dan belajar untuk ulangan besok pagi.



Aku berjalan menuju ruang kelas. Ulangan biologi yang akan diadakan pagi ini kupersiapkan dengan baik tadi malam. Ketika aku duduk, tiba-tiba kulihat Sandra berlari masuk kelas. Dia menghampiriku seraya menarik tanganku dengan tergesa-gesa keluar kelas. 



"Aduh, kamu ini apa-apaan sih? Bentar lagi ulangannya mulai!" kataku.

"Sudah, diam! Kemarin aku chatting sama cowok keren. Dia ngakunya anak SMA ini juga! Kita janjian untuk ketemu di depan kelas sebelum pelajaran mulai. Makanya kamu kuajak ke sini," jawabnya dengan wajah berseri-seri.

"Oh ya? Mana buktinya?" tanyaku tak percaya.

"Baca nih," ujarnya sambil memberikan secarik kertas padaku.

"Ini hasil print chatting-ku kemarin. Aku pakai nickname Shiva, sedangkan dia pakai nickname Zeus," tambahnya.

Zeus : hai. blh knal?

Shiva : blh. asl u?

Zeus : 20/m/sby.u?

Shiva : gw 16/f/sby.qta sama2 di sby ya!

Zeus : yup. napa? mo ketemu?

Shiva : ehm. tau aja =)

Zeus : bisa kok. u skul dmn? Gw di sma xx

Shiva : sama donk. bsk gw tunggu di dpn klas 2.9 ya!

Zeus : ok. pagi, sebelum pljrn mulai

Shiva : ok. bye…

Zeus : bye…

"Lho, cuma gini kok kamu bisa bilang dia keren sih? Jangan-jangan dia bohong!" kataku setelah membaca kertas itu.

Tak lama kemudian, datang pak Edo menghampiri kami. Tapi yang membuat kami terkejut adalah saat beliau menyebut…

"Shiva!"

"Lho, kok pak Edo tahu?" tanya Sandra keheranan.

"Buku yang kemarin Bapak ambil kan ada nickname chatting kamu. Bahkan, di situ ada jadwal chatting kamu."

"Tapi kok Bapak bisa…"

"Chatting? Jangan dikira Bapak gaptek. Bapak juga sering chatting kok," jawab pak Edo tenang.

"Sekarang Bapak jadi tahu siapa murid Bapak yang jarang belajar kalau ada ulangan. Kamu ambil alat tulismu dan kerjakan soal ulangan di ruang guru!" tambah beliau.

Aku hanya bisa mengerling ke arah Sandra sambil mengulum senyum. Aku tak bisa membayangkan bagaimana wajah Sandra saat dia sedang mengerjakan soal ulangan itu di ruang guru. Ah, gara-gara chatting!

Puisi to You, Dad

TERIMA KASIH UNTUK AYAH

Waktu adalah hal yang abadi
Tak pernah berhenti dan tak bisa kembali

Disetiap waktu yang tersedia
Ada pertemuan bertaud perpisahan
Laksana fajar berganti senja
Dengan ikhlas datangnya malam

Kita begitu menikmati kebersamaan
Tak menyadari datangnya perpisahan

Mungkin ucapan terima kasih dan maaf
Terasa sangat klise untuk diungkapkan
Karena sesungguhnya cinta kasih dan pengabdian seorang bapak
Tak terukur oleh apapun

Hanya doa dan harapan
Menjadi suatu penghargaan
atas tetesan keringat
dan jerih payah

waktu dan jarak mungkin menjadi pembatas
namun tak dapat menghapus jejak
yang telah terukir di dalam hidup.

Cerpen

Maaf mama, Firasatmu benar,,!!!

Ketika cinta jatuh di hatimu, ke mana kamu akan mengadu? Dulu jawabanku hanya satu. Aku akan berlabuh di pelukan mama, membagi getar-getar bahagia yang terkadang membuat gugup. Getar cinta!

Abidzar! Cowok yang pernah hilang dari mataku. Tapi di hatiku tidak! Kini hadir lagi. Berdiri di depanku, mengulurkan tangan untukku. Dan ketika aku sambut uluran itu, suara seraknya melantunkan kata maaf diikuti tatapan mata yang menyiratkan sesal, karena telah meninggalkanku kemarin. Kata hatiku percaya, maaf dan sesal yang dilantunkan Abid itu tulus tapi haruskah kepercayaan itu membuatku kembali ke pelukannya? Kesalahan Abid di masa lalu bukan kesalahan kecil. Dia menghilang begitu saja dari kehidupanku, setelah sebelumnya menyakitiku dengan menduakanku.

Dulu saat Abid pertama datang mengatasnamakan cintanya untukku. Pelarianku adalah mama. Mama seorang! Karena untuk berbagi ke papa adalah mustahil. Hingga usiaku menginjak delapan belas. Aku belum pernah melihat langsung wajah papa. Hanya dalam photo pernikahannya dengan mama!

Saat aku masih kecil, pertanyaanku tentang papa selalu mendapat jawaban yang mengenaskan. Papa mati karena kecelakaan. Dan air mata mama pasti mengalir deras mengiringi kisah itu. Tapi di usiaku yang ke tujuh belas, tahun kemarin! Bertepatan dengan kedatangan Abid untuk kukenalkan pada mama. Mama bercerita lain lagi tentang papa.

"Ini adalah kisah yang sebenarnya. Dan aku pikir kamu memang harus tahu kebenaran itu. Firasatku mengatakan, papa kamu masih hidup. Cuma aku tak tahu dia sekarang di mana," ucap mama saat itu. Masih lancar, belum ada air mata yang menyendatkan kalimatnya.

"Lalu kenapa nggak pernah menemui mama." tanyaku langsung.

"Eyang dari papamu tak menginginkan itu. Mama terlahir dari keluarga yang berkubang kemiskinan. Eyangmu yang telah mengalirkan darah biru di kehidupan papa, tak bisa menerima kehadiran mama meski kami telah membuktikan cinta kami dengan pernikahan yang sah setelah lari dari rumah."

Kurasakan hatiku seperti teriris. Sakit yang kurasakan begitu perih. Lebih perih ketika mama bercerita bahwa papa meninggal dalam kecelakaan.

"Lebih sakit lagi, papamu diseret dari kehidupanku. Bahkan papamu yang memang tak berpendirian tunduk untuk dinikahkan lagi tanpa harus berpikir bagaimana nasibmu yang masih dalam kandungan."

Air mata mama mengalir lagi. Hingga sepatah kata pun untuk Abid, tak ada! Hingga kemudian mama beranjak ke kamar. Meninggalkan aku dan Abid. Aku tak tahu apa yang ada di benak Abid malam itu. Dia banyak diam, mungkinkah dia kecewa dengan keadaan keluargaku? Entahlah. Yang jelas sejak saat itu Abid berubah drastis. Bahkan berkesan sengaja menggandeng cewek lain di depanku. Sakit sekali!

Dan kini, saat sisa cinta untuk Abid masih selalu meresahkan tidurku, menyiksa hatiku. Abid datang lagi. Jika aku harus mengikuti kata hatiku, itu berarti aku akan menerima kehadiran Abid lagi. Aku masih mencintainya! Tapi, mungkinkah mama menyetujuinya? Mama tahu Abid telah melukaiku. Bahkan pernah berkata, sorot mata Abid mengingatkan dia pada papa dan bukan tak mungkin Abid itu adalah cowok yang tak punya pendirian. Tidak bertanggung jawab seperti papa. Dan firasat mama itu terbukti dengan kenyataan perih yang Abid sodorkan untukku.

Untuk menerima Abid kembali tanpa persetujuan mama rasanya tak mungkin juga aku lakukan. Mama satu-satunya yang menjadi teman curhatku, dan itu sejak aku masih kecil. Mungkin karena aku tak punya saudara dan juga papa yang membuatku bisa menyisihkan sebagian permasalahanku, tanpa harus lari ke mama.



"Ma!" ucapku menyebut namanya. Meski belum berani untuk mengungkapkan keresahanku.

"Aku tahu kamu punya masalah. Firasatku mengatakan begitu. Akhir-akhir ini kamu menyembunyikannya untukku. Atau mama tak bisa lagi dianggap sebagai teman curhat?" ungkap mama membuatku semakin tak tahu harus mulai dari mana untuk bicara tentang Abid.

"Kamu jatuh cinta lagi?" lanjut mama, yang kubalas dengan anggukan.

"Itu tak salah," ungkapnya lagi. "Tapi kamu harus hati-hati. Jangan sampai kamu harus bertemu lagi dengan cowok bejat seperti Abid. Bukankah dari pertama kamu kenalkan aku pada Abid, aku sudah beranggapan lain tentangnya. Tapi kamu terus membelanya"



Cowok bejat! Abid telah mendapat julukan seperti itu dari mama. Tapi kenapa aku tak bisa mencap Abid seperti itu? Bahkan hatiku terbuka lebar untuk menerima kehadiranya lagi.

"Tapi cinta yang kurasakan kini, Mam! Masih cinta untuk Abid!" ungkapku tanpa berani menatap mama.

Mama langsung berbalik ke arahku. Tapi sedikit pun aku tak bisa berbalik untuk menatapnya. Aku tahu mama kaget dengan kalimatku itu.



"Jika kamu masih mau merasakan luka yang lebih perih dari yang pernah kamu rasakan. Silahkan kamu menerimanya kembali."

"Mama jangan menganggap semua lelaki di dunia ini sama seperti papa. Tahunya hanya membuat luka, mengecewakan!"

"Nia, aku berani cerita jujur tentang papamu yang sebenarnya tidak meninggal dalam kecelakaan dan kemungkinan masih hidup karena melihat sorot mata dan tingkah laku Abid. Dia mengingatkanku pada papamu. Dan firasatku mengatakan jika dia tak ada bedanya dengan papamu. Cowok yang tidak bertanggung jawab!" tegas mama.

Aku terdiam. Seperti yang kuduga, mama tidak akan pernah menyutujui hubunganku lagi dengan Abid. Dan itu berarti, anganku untuk memiliki Abid kembali harus pupus hingga di sini. Aku tak ingin mengecewakan mama dengan tindakan yang tidak disetujuinya. Aku tak ingin melukainya dengan kebahagiaanku. Bagaimana pun mama satu-satunya yang ada dalam kehidupanku selama ini.



Minggu pagi. Aku jalan-jalan ke rumah Abid. Dia yang ngajak, lagi pula aku tak mungkin mengajak Abid ke rumah. Mama pasti tak setuju Abid berkunjung ke rumah

Rumah Abid cukup megah. Tapi berkesan sepi, hanya seorang tukang kebun yang menerima kehadiranku. Itu pun aku harus ditinggal di teras depan saat dia masuk memanggil Abid. Hampir sepuluh menit aku menunggu baru kemudian Abid muncul dengan wajah segarnya. Dia baru saja mandi.

Abid mendesah panjang. Aku tahu, dia sedang berpikir, merangkai kalimat yang tepat untuk meminta jawabanku setelah kemarin dia melantunkan sesal. Aku ikut gelisah, tak tahu harus ngomong apa. Padahal seharusnya aku yang angkat bicara duluan karena jawabanku telah pasti. Aku tak bisa menerima cintanya lagi! Tapi alasanku apa? Aku tak mungkin membawa nama mama dalam persoalan ini meskipun jawaban tentang pertanyaan Abid kudapat dari mama. Atau apa aku harus menolak cinta kedua Abid dengan alasan perbedaan usia antara kami?

Abid memang lebih muda dariku, tapi tidak sampai beda setahun! Dan jika itu yang jadi alasanku, mengapa aku tidak menyodorkannya saat pertama Abid datang mengungkapkan cintanya dulu.

"Kirain kamu nggak datang," ucapnya juga akhirnya setelah menyadari kami terdiam beberapa menit di teras. "Sori aku di kamar mandi saat kamu datang tadi. Masuk, yuk!"

Kuikuti langkahnya. Tapi sungguh tak kumengerti saat hendak kurapatkan duduk di kursi ruang tamu. Tiba-tiba Abid meraih pergelanganku, mengajakku untuk mengikuti langkahnya lebih ke dalam lagi. Tapi bagaimana mungkin itu kulakukan, aku kan baru berkunjung ke rumah ini. Saat kutepis pegangan Abid, dia tambah mengencangkan genggaman. Lenganku sampai sakit.



Aku teringat mama. Firasat mama tentang Abid yang bejat benar adanya.

"Apa-apan sih!" bentakku meronta hendak melepaskan cengkeraman tangannya.

Dia tak bergeming. Hanya berbalik menatapku dingin. Setelah itu, dia menarik lenganku lagi. Dadaku berdebar kencang. Baru kusesali, mengapa aku tak mendengarkan nasehat mama untuk menjauhi Abid. Firasat mama memang tak pernah salah. Lalu apa yang harus kuperbuat sekarang? Rumah megah ini sepertinya hanya dihuni oleh Abid dan aku. Teriakku hanya percuma.

Di ruang tengah. Abid membuka sebuah kamar lalu menyeretku masuk ke dalamnya. Aku ingin teriak. Meronta! Tapi pemandangan yang kudapatkan di dalam sana membuatku terpaksa mengurungkan niat itu. Di atas spring bed sana terbaring seorang lelaki tua. Kumis dan jenggot tumbuh liar di wajahnya, mata cekung dan tubuh kurusnya berjuntaian kabel-kabel infus. Abid melepaskan cengkeramannya di lenganku. Menghampiri lelaki itu dan entah kenapa, aku mengikuti langkahnya.



Dari matanya tersorot tatapan yang seolah pernah aku dapatkan sebelumnya. dan kalau pun tatapan itu tiada beda dengan tatapan Abid tapi hati kecilku masih yakin, jika aku pernah mendapatkan tatapan itu sebelumnya. Lelaki itu menangis! Juga Abid. Mungkinkah Abid memperkenalkan aku pada papanya sebagai orang yang akan menemani hidup Abid, jika kelak papanya meninggal?

"Nia, dia papaku! Dan harus kamu tahu juga jika lelaki tua ini adalah papamu."

Seperti sebuah petir menggelegar. Tapi hanya terdengar dalam kamar ini karena cuaca sedang terik di luar sana.



Lelaki tua itu meraih tanganku bahkan menciumnya. Dia mengangguk kemudian sebagai sebuah isyarat agar aku memeluk tubuhnya. Tapi itu tak aku lakukan. Kalau pun dia adalah papaku, bukankah kemarin dia telah menelantarkan hidupku. Melukai mama! Aku ingin berlari keluar, tapi aku tak tahan juga melihat tatapannya yang begitu bahagia seakan melepas semua kerinduannya untukku.

"Sebulan sudah dia mengering di sini," ungkap Abid menangis.

"Apa peduliku," ucapku membuat keduanya tersentak. Aku berlari keluar. Tapi saat di luar kamar Abid kembali menggenggam tanganku.



"Dia papamu, Nia! Kamu harus percaya itu."

"Jika dia adalah papaku, kenapa dia tak pernah mau tahu bagaimana nasibku."

Abid menatapku tajam. Kedua rahangnya terkatup keras seakan menahan gemuruh emosi yang kini menderanya. Dan memang, semenit kemudian tanpa pernah kuduga dia mendaratkan tamparan kerasnya ke wajahku. Perih sekali!

"Nia, karena kamu dan mamamu. Aku hidup dalam broken home. Papa tak pernah mencintai mamaku. Dia bahkan mengusir mamaku dari rumah ini. Bertahun-tahun dia mencari kamu dan mamamu, tanpa pernah mau tahu ke mana mamaku hidup, setelah dia usir dari rumah ini. Aku menderita karena kamu, Nia! Dan saat sebuah takdir mempertemukan kita dan mendengar semua cerita mamamu. Aku yakin kamulah yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupanku. Dan jangan salahkan jika kemarin aku membalas sakit hatiku dengan melukaimu. Tapi melihat papa yang sakit-sakitan, aku tak tega untuk tidak menemuimu. Dia papamu juga!"

Aku terdiam. Aku ingin berbalik kembali melihat lelaki tua di kamar yang ternyata adalah papaku. Tapi bayangan air mata mama setiap bercerita tentang papa, tak mengijinkan aku untuk itu. Aku bergegas pergi.

"Nia, kamu tega melakukan ini?" ucap Abid menghalang langkahku.

Aku tetap melangkah.

Terus melangkah hingga akhirnya kudapatkan mama di rumah sedang duduk sendiri. Aku yakin, dia berpikir tentangku. Kutata rapi hatiku. Aku tak ingin mama tahu aku habis menemui Abid, apalagi sampai tahu kalau Abid adalah anak papa juga. Aku tak ingin mama terluka lagi.

"Mama melamun, ya?" godaku.

Mama masih diam seolah tak menyaksikan kehadiranku. Bahkan sedetik kemudian kudapatkan air matanya bergulir di pipi. Mungkinkah mama punya firasat kalau aku habis menemui Abid? Aku lebih baik jujur sebelum mama menginterogasiku.

"Maafkan aku, Ma! Aku menemui Abid hanya untuk mengatakan bahwa aku tak bisa menerima kehadirannya lag," ucapku meraba pundaknya.

"Mama yang salah. Wajah polos Abid mengingatkanku pada papamu. Dan luka masa lalu itu telah membuatku membencinya. Harusnya Abid kujadikan tempat untuk melepaskan rinduku pada papa."

"Mama rindu pada papa?" tanyaku antusias.

Mama mengangguk. Aku langsung menghambur ke pelukan mama. Tangisku di rumah Abid kini terulang lagi.



"Mama keliru telah membenci papamu, padahal aku tahu dia mencintaiku. Tapi eyangmu yang tak mengijinkan kami untuk bersatu."

Kulepaskan pelukanku pada mama. Ketika benakku berpikir untuk mengajak mama menemui papa tiba-tiba ponselku berdering. Dan itu dari Abid.

"Papa sekarat. Yah, papa! Kamu mau mengakuinya atau nggak, tapi itulah kenyataan. Dia selalu mengingau menyebut namamu."

Aku tak bisa bicara apa-apa. Air mataku luruh membayangkan wajah lelaki tua yang baru saja aku sakiti hatinya.

"Dari siapa?" tanya mama melihat diamku.

"Abid."

"Mendengar nama Abid kali ini seperti memberi firasat pada mama, papamu sekarang sedang tersiksa bahkan mungkin telah meninggal."

Aku tersentak. Tiba-tiba saja aku tak ingin kehilangan lelaki tua itu. Papaku! Cepat kutarik lengan mama dan mengajaknya ke rumah Abid, meski bibirku belum sanggup bicara tentang papa pada mama. Aku ingin mama tahu dan melihat sendiri apa yang akan terjadi di sana. Dan semoga saja firasat mama kali ini meleset.

Cerpen


Hujan di Hari yang Lalu

          Siang itu di kelas terasa gaduh, karena gurunya tidak mengajar. Kami hanya bercanda-canda saja dengan teman-teman yang lain. Ku duduk dibangku paling belakang bersama Irfan, Doni, dan Kiky sambil gambar-gambar iseng-iseng saja untuk mengisi waktu. Terdengar suara Wulan yang sedang asyiknya bercanda dengan Dina dan Ayu, mereka menyebut-nyebut namaku segala, dasar!
          “Ech, Din! Kita lancong yuk?? Sekedar refreshing saja, mau??”,  Wulan bicara sama Dina, tapi dia menolehnya ke arahku. Dasar aneh tuw anak, pasti ada maunya, pikirku.
          “Iya, iya boleh tuw kayaknya. Ku mau-mau saja”, Dina menjawab sambil menoleh ke  arahku juga.
          Pikiranku menjadi kacau, tingkah laku mereka aneh. Ku terdiam sejenak, karena heran dengan sikap mereka.
          “Hey Rifky!”, terdengar suara yang memanggilku, aku terkejut dan langsung terbangun dari lamunanku.
          “Ech…iya kenapa Lan??”, Tanyaku dengan agak senyum.
          “Dari pada bengong terus, lebih baik kita lancong yukz?? Ke pasar Sukawati, sekedar lihat-lihat accessories saja. Mau ikut??”, Wulan tampak semangat.
          “Iya boleh, gak ada salahnya juga. Lagi pula mulai besok kan gak belajar efektif, aku mau dech!”, jawabku sambil merapikan bukuku.
          “Kita ajak Dina ya?? Hehe…biar ada temenku nantinya”, Wulan sikapnya aneh, Dina juga tampak senyum-senyum saja. Ku balas saja dengan senyuman juga.
          “Iya Wulan, jam berapa??”
          “Hm…jam 2 saja, sepulang dari sekolah. Ech…ajak Yuda juga ya?? Biar kamu nggak sendiri cowok”, kata Wulan. Dia langsung kembali ke bangkunya dan mulai bercanda lagi dengan Dina. Ku hanya mengangguk saja, dan mulai beranjak keluar bersama Irfan.
***
          Cuaca siang ini tak begitu cerah, sepertinya akan turun hujan.  Langit sedang mendung, aku ragu untuk pergi. Terdengar suara dering dari HP-ku, ternyata dari Wulan. Dia bilang hari ini jadi berangkatnya, ku langsung mengirim pesan kepada Rina, karena ku akan lancong dengan teman-teman. Aku tak sengaja mengajaknya ikut, setelah ku dapat balasan, aku agak kaget. Ternyata Rina ingin ikut bersama kami, ku merasa senang karena dia ingin ikut.
          Setelah jam menunjukkan pukul 2, aku langsung bergegas mengambil kunci motor. Ech…sialnya! Baru sampai di depan rumah sudah turun hujan gerimis, aku langsung saja tancap gas dan menuju tempat perkumpulan. Hujan semakin deras, ku menunggu sambil berteduh di depan warung bakso. Tak lama, Wulan datang bersama Dina yang basah kuyup.
          “Ech Rifky! Yuda mana?? Koq gak diajak??”, ucap Wulan sambil mengeringkan bajunya yang basah.
          “Hm…tadi hujan, makanya gak bisa jemput Yuda. Jadi ku sendiri saja”.
          “Owh…palingan mau sama Rina kan??” kata Wulan seperti menyindir.
          “Hah?? Kak Rina?? Koq??” Dina tampak keheranan, dia seperti agak takut saat Wulan bilang kalau Rina mau ikut.
          “Iya”, jawabku dengan agak malu. Ku tidak mungkin menolak permintaan Rina untuk ikut.
          “Owh…jadi kamu harus jemput dulu donk??”, ucap Dina yang masih keheranan.
          “Ech…nie jas hujannya”, kata Wulan sambil menyodorkan jas hujan miliknya kepadaku. Wulan memotong pembicaraanku dengan Dina yang belum ku jawab.  Ku menerima saja, kebetulan  aku tidak bawa jas hujan.
          “Din, kamu sama Rifky dulu ya?? Soalnya ku mau mampir dulu sebentar di rumahnya Aldo, untuk ganti celana. Basah nie”, pinta Wulan.
          “Hah? Dina?? Ikut gandeng sama Rifky?? Ich…gak mau!” ucap Dina dengan cemberut ke arahku, ku tahu dia tidak akan mau ikut gandeng sama aku, takut kali dia! Dasar Dina aneh.
          Setelah lama berunding, akhirnya dia mau juga ikut gandeng sama aku. Ku mulai turun dan memakai jas hujan. Syukurnya aku cuma sama dia sampai di rumah Aldo saja, kalo Rina melihat ini, bisa marah dia.
          Semakin jauh, hujannya semakin deras. Ku kasihan juga sama Dina, dia sepertinya menggigil kedinginan di belakangku. Tapi ku tak berani berkata apa-apa, ku hanya menjaganya dengan kata hatiku. Tak lama, hujan berhenti. Tepat di depan rumah Aldo, Dina turun dari motorku, kemudian dia sama Wulan. Di sana kami berpisah, karena ku harus menjemput Rina terlebih dahulu. Mereka pergi duluan dan kami berencana nanti ketemu di pasar Sukawati. Dina memberi lambaian tangan kepadaku, aku hanya tersenyum melihat wajahnya yang putih pucat itu.
***
          Sepanjang perjalanan, aku merasa tidak tenang. Dalam hatiku merasa takut, karena aku baru pertama kali menjemput Rina. Ku tidak hafal banyak jalan ke rumahnya. HP didalam saku celanaku bergetar, panggilan, mungkin dari Rina. Kudiamkan saja, aku lupa meng-sms dia sebelum berangkat., seperti yang dia pesankan padaku. Hujan masih terus saja berjatuhan membasahiku yang hanya berlindungkan jas hujan kecil milik Wulan. Pikiranku gelisah, ada pikiran terlintas untuk kembali saja dan langsung ke pasar Sukawati tanpa menjemput Rina.  Tapi aku sudah berjanji, dan aku bukan orang yang suka ingkar janji. Aku terus menyusuri jalan,  terus memacu motorku dengan kecepatan sedang.
Perasaanku masih tidak enak, saat menyusuri jalan itu, dan benar saja , kulihat ada banyak  orang berkerumun dan juga polisi! Ku kaget melihat ada polisi, jangan-jangan ada tilang! Terlambat untuk berbalik, dan aku pun di stop oleh polisi. Ku meraba perlengkapanku, STNK ku tak bawa dan SIM pun tak punya. Terpaksa ku hanya bisa pasrah saja, ini mungkin nasibku. Kulihat HP-ku, panggilan dari Rina, kukatakan padanya aku kena tilang, dia langsung mengatakan dia akan menyusulku, sekitar sepuluh menit Rina pun datang, tampak seperti orang yang sehabis berlari, keringat diwajahnya tak bisa disembunyikan. Rina berdiri diseberang jalan, mendekati polisi yang berdiri disana, mereka bercakap-cakap sebentar, kurasa dia berusaha agar aku diberi keringanan, seperti yang kulakukan tadi, tetap saja tidak berhasil. Saat itu aku panik dan terpaksa harus menelepon Bapakku. Rina duduk disebelahku, bersama menunggu orangtuaku datang, mungkin Rina merasakan hal seperti aku, takut. ”Maaf.”, kata Rina saat aku menatapnya. ”Maaf karena aku membiarkanmu kemari, seharusnya aku tidak mau ikut, aku kira kamu tidak akan benar-benar kemari, aku bodoh sekali.”. Aku mencoba tersenyum, maaf tak ada artinya lagi, sudah terlanjur.
Motorku dibawa ke Polres yang letaknya cukup jauh dari tempat penilangan tadi. Aku dan Rina berjalan ke Polres, tak banyak yang kami bicarakan, Rina hanya menunduk sambil membawa helmku. Kami sampai diPolres, tetapi orangtuaku belum datang. Kami menunggu beberapa lama, dan akhirnya orangtuaku datang, Rina pun pergi menjauh sambil memberikan senyuman padaku. Dia buru-buru pergi agar tidak menjadi pertanyaan orangtuaku nanti.
Aku merasa takut, karena aku tadi minta izin untuk ke pasar Sukawati bersama teman-teman, tapi aku malah kena tilang di jalan yang tidak menuju ke pasar  Sukawati. Aku agak gemetar, tetapi Bapak hanya tersenyum kepadaku. Seketika pikiranku tenang, rasa takut dan gelisah itu mulai hilang terhapus dengan senyuman. Lama ku di Polres itu, hujan tak juga kunjung reda. Kulihat HP ku, Rina meng-sms, dia menanyakan keadaanku. Sejujurnya, aku marah padanya, karena dia aku kemari, dan entah mengapa aku bersedia. Marah pun tak ada gunanya, lagipula dia tadi sudah mau menyusulku ke tempatku ditilang, dan sudah menemaniku sampai orangtuaku datang, aku cukup senang walaupun tidak jadi ke Sukawati, tetapi tidak ditutupi bahwa aku menyesal, menyesal karena tidak berpikir panjang sebelum mengambil tindakan.
Setelah cukup lama mengurus surat-surat keterangan, akhirnya aku di izinkan pulang. Aku merasa bersalah pada orangtuaku karena aku bandel dan telah berbohong. Meskipun mereka tidak memarahiku, aku tetap saja merasa bersalah. Rasa bersalah dari seorang anak yang telah membuat orangtuanya panik, membuat orangtuanya kecewa karena aku berbohong. Maafkan aku...
Suara gemercik hujan yang masih terdengar seakan menertawaiku, atas kelalaianku. Aku berjanji hari ini, aku tidak akan berbohong lagi kepada orangtuaku. Ku tak akan menuruti pikiranku, tetapi menuruti kata hatiku. Ku kembali menelusuri jalan dengan ditemani hujan di hari ini yang selalu setia menemaniku, meninggalkan tempat dimana aku mendapatkan pengalaman yang tak mengenakkan, tempat  dimana perasaan takut, gelisah, dan rasa  bersalahku bercampur menjadi penyesalan, tempat dimana pikiranku terbuka dan kesadaranku meningkat. Aku meninggalkan tempat itu, meninggalkan semua  perasaan yang kurasakan tadi, dan juga orang yang membawaku ketempat itu...

Cerpen Persahabatan

SAHABAT SEJATI SEIYA


“Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.

“Begini, aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada Amanda.
Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak, ee..., maksudku, aku suka sepatu itu.”

“Lantas mengapa sepatu ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”, tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti, dia ragu-ragu untuk meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.

Nisa teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di dapur.

“Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat ini dong Bu, bagus sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, menunjukkan sepatu baru yang sedang dipakainya.

Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”

“Ah Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kamu sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari Amanda. Dia yang memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.

“Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu baru minggu lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda memberikannya untukku”.

“Wah beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.

Benar. Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti perkiraan ibunya tadi.

“Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah menerima pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada kita”
“Tapi Pak, Amanda memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri.

“Betul. Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.

“Mereka tidak mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.

“Tapi Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa menyerah.

Amanda memandang wajah Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja, tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.

“Tidak bisa. Aku sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi, kamu boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu.

Keesokan harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi. Beliau terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”

Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.

Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya, seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah. Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.

“Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”.

“Ah tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami mampu membalasnya”, kata ayah Nisa.

“Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya selama ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering membantu Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah Amanda sambil tersenyum.

“Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua orang tua mereka.

“Kalau begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya.

“Horeeeeeeeeee”, teriak Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu.


_End_

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda